Putusan Hakim PN Bulukumba Soal Penyerobotan Tanah di Bontonyeleng Tuai Sorotan
- IdeNews | Enal Mappirewa -
- Kamis, 21 November 2024
Putusan mengejutkan Pengadilan Negeri Bulukumba dalam perkara dugaan penyerobotan tanah di Desa Bontonyeleng, Kecamatan Gantarang. (poto:Illustrasi/istimewa/ideNews)
BULUKUMBA-SULSEL | ideNews – Putusan mengejutkan Pengadilan Negeri Bulukumba dalam perkara dugaan penyerobotan tanah di Desa Bontonyeleng, Kecamatan Gantarang, memicu gelombang kritik tajam dari berbagai pihak. Perkara dengan Nomor 162/Pid.B/2024/PN Blk ini menempatkan Darma (54), pemilik sah tanah yang disertifikatkan, dalam posisi sulit setelah terdakwa, yang terbukti menggarap tanah tanpa izin, dibebaskan dari tuntutan pidana.
Dalam amar putusannya, hakim menyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan perbuatan seperti yang didakwakan. Namun, perbuatan itu dinilai bukan tindak pidana, sehingga terdakwa bebas dari hukuman. Keputusan ini menyisakan luka mendalam bagi Darma dan keluarganya yang merasa kehilangan keadilan.
Kisah Darma: Antara Sertifikat dan Tangisan
Darma, seorang petani sederhana, tak pernah menyangka sawah yang telah lama menjadi sumber penghidupannya kini berada di tangan orang lain. Kejadian bermula pada awal 2024, saat terdakwa mulai menggarap tanah Darma tanpa izin. Meski sertifikat tanah milik Darma jelas membuktikan hak kepemilikannya, pengadilan memilih jalan berbeda.
“Ibu saya menangis setiap hari setelah putusan itu,” ujar Rina, putri Darma. Dengan suara bergetar, ia menggambarkan betapa keluarganya hancur mendengar putusan yang dianggap mencederai rasa keadilan.
Upaya Darma untuk menyelesaikan kasus ini secara kekeluargaan tak membuahkan hasil. Bahkan ketika perkara masuk pengadilan, hasilnya justru makin melukai. Hingga kini, tanah tersebut masih dikuasai terdakwa, sementara Darma hanya bisa berharap dan berdoa.
LSM Mengecam Putusan Lemah
Ketua LSM Komite Konsolidasi Rakyat Bulukumba, Arie M. Dirgantara, turut angkat bicara. Ia menyebut putusan hakim sebagai bentuk ketidaktegasan hukum yang patut dipertanyakan.
“Bagaimana mungkin perbuatan yang jelas-jelas melanggar hak orang lain tidak dianggap sebagai tindak pidana?” tanyanya. Arie juga mengkritik jaksa yang dinilainya kurang teliti menyusun dakwaan. Ia menilai Pasal 167 ayat (1) KUHP yang digunakan terlalu lemah untuk menjerat terdakwa, dan seharusnya dilengkapi dengan Pasal 2 UU 51/Prp/1960.
Menuju Kasasi: Harapan di Tengah Ketidakpastian
Saat ini, keluarga Darma telah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Mereka berharap putusan di tingkat yang lebih tinggi akan membawa keadilan yang selama ini dirasa absen.
“Putusan ini bisa menjadi preseden buruk jika dibiarkan. Kami khawatir akan ada lebih banyak kasus serupa di masa depan,” ujar Arie menutup pernyataannya.
Kasus ini menjadi refleksi nyata bahwa sistem peradilan tak hanya membutuhkan keakuratan hukum, tetapi juga kepekaan terhadap rasa keadilan masyarakat. Hingga kejelasan hukum terbit, Darma dan keluarganya terus menanti—dengan doa dan harapan yang tak kunjung padam—agar hak mereka dikembalikan.
Untuk informasi lebih lanjut, detail amar putusan dapat diakses di situs resmi PN Bulukumba.
Klik di sini.